Industri film Indonesia sudah dimulai menjelang berakhirnya abad ke-19. Waktu itu film-film masih diputar di bioskop keliling. Baru pada 5 Desember 1900 berdiri sebuah bioskop permanen di jalan Tanah Abang Barat. Lokasinya sekarang di gedung Permorin, dekat Taman Prasasti dan kantor wali kota Jakarta Pusat. Tapi bagi suami istri, nonton bioskop bersama di Betawi tempo doeloe bisa berabe. Yang pasti mereka harus rela duduk berpisah. Mungkin karena pertimbangan moral saat itu. Pemisahnya berupa lorong yang membelah sepanjang tengah-tengah bangsal dari depan dan belakang.
Akibatnya, seringkali ketika bioskop bubar suami istri harus saling mencari, sambil berteriak-teriak. Tidak jarang pula mereka terpaksa pulang sendiri-sendiri karena tidak bisa bertemu. Akibatnya, setelah pulang dari bioskop, di rumah bukannya tambah mesra, justru bertengkar dan saling salah menyalahkan. Pertunjukan kala itu hanya berlangsung malam hari.
Tapi pembatasan tempat duduk itu tidak sampai berlangsung lama. Makin lama masyarakat tidak lagi menggubris aturan pemisahan tempat duduk dalam bioskop. Rupanya pengelola bioskop pun kemudian tidak lagi mengetatkan peraturan itu. Mereka membiarkan saja suami istri duduk berdampingan.
Dulu orang nonton bioskop lebih santai dibanding sekarang. Pengunjung tidak dilarang masuk meski hanya pakai sandal atau bahkan telanjang kaki. Ada juga yang untuk keren-kerenan mengenakan pakaian lengkap, sekalipun waktu itu belum dikenal alat pendingin ruangan. Ada juga yang memakai piyama. Mereka mungkin tidak tahu bahwa piyama adalah pakaian tidur.
Pengunjung bioskop juga tidak dibatasi usianya. Tidak heran banyak anak-anak ikut menonton, juga bayi yang masih dalam gendongan. Waktu itu hal yang biasa kalau ada ibu-ibu yang menyusui bayinya di bioskop. Yang merepotkan kalau bayinya menangis. Hal itu bisa sangay mengganggu penonton lain. Tapi tangisan bayi itu, setidak-tidaknya bisa memecahkan kesunyian. Karena selama satu jam pertunjukkan, tidak terdengar sedikitpun suara. Yang diputar waktu itu memang film-film bisu. Di Amerika sendiri film-film bersuara baru diproduksi pada tahun 1927. Dua tahun kemudian, film bersuara berdatangan ke Indonesia.
Menurut SM Ardan, dari Cinematek Indonesia, sampai tahun 1934 bioskop-bioskop di Jakarta masih didominasi film-film bisu. Kenapa sampai begitu lama? Penyebabnya, tidak semua bioskop bisa membeli peralatan film bersuara yang serba mahal. Mereka juga harus mengganti proyektornya. Persis seperti televisi berwarna yang baru beberapa tahun kemudian bisa dinikmati di Indonesia. Kemudian orang Betawi menyebut film bisu, dengan film gagu. Bintang filmnya yang paling kesohor waktu itu Charlie Chaplin.
Tio Tek Hong, seorang penulis waktu itu menceritakan bahwa bioskop pertama di Indonesia dirintis Tuan Talbot. di bangsal berdinding gedek dan beratap seng di Gambir (Lapangan Monas). Tempatnya tidak menetap, tapi dibawa keliling ke kota-kota lain. Baru kemudian pada tahun 1900 didirikan bioskop permanen di gedung Permorin itu. Dulunya adalah tempat pacuan kuda. Pendirinya Schwarz, seorang Belanda.
Bioskop pertama ini belum memutar film-film cerita, tapi dokumenter. Dan yang pertama diputar di Jakarta film dokumenter tentang Ratu Belanda Wihelmina. Karena tidak ada kaset seperti sekarang, setiap pertunjukan akan dimulai, diiringi musik yang dimainkan beberapa pemusik. Kemudian diperdengarkan lagu kebangsaan Belanda, Wihelmus.
Tapi lagu kebangsaan Belanda itu tidak begitu diacuhkan, terbenam oleh sorak-sorai penonton. Baru kemudian, di bioskop-bioskop kelas utama tiap lagu kebangsaan Belanda diperdengarkan, kemudian muncul gambar Ratu Wihelmina para penonton berdiri. Tentu saja, hal ini dipelopori orang-orang Belanda, tulis Tio Tek Hong.
Seorang Belanda lainnya, des Collonne pada awal abad ke-20 mengusahakan bioskop lainnya Deca Park di depan Istana Merdeka. Tio Tek Hong sendiri kemudian bersama beberapa kawannya mendirikan Elite Bioskop di Pintu Air (depan Masjid Istiqlal), yang setelah dijual kepada Belanda kemudian menjadi Capitol.
Bioskop ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat Belanda. Terlarang bagi pribumi, kecuali mereka yang keturunan bangsawan. Harga tiketnya jauh lebih mahal. Tapi sekalipun seseorang bisa membayar jangan harap bisa menonton di sini. Karena hanya dibolehkan untuk mereka yang memiliki status sosial yang tinggi. Diskriminasi semacam ini juga dilakukan di kereta api, trem dan sejumlah tempat hiburan. Baru setelah Jepang datang, peraturan seperti ini dihilangkan.
Setelah berakhirnya era Charlie Chaplin, film-film western (cowboy) yang digemari, khususnya di bioskop-bioskop rakyat yang penontonnya kelas menengah ke bawah. Maklum waktu itu belum ada teks bahasa Indonesia seperti sekarang. Sedangkan film-film drama umumnya diputar di bioskop-bioskop kelas atas. Ketika itu nilai prestise bioskop ditentukan berdasar lokasinya. Film Indonesia, yang mulai diproduksi pada tahun 1930-an belum bisa diputar di bioskop-bioskop tersebut.
Tidak seperti sekarang, harga karcis di bioskop-bioskop bervariasi, berdasar kelas. Waktu itu ada beberapa kelas seperti kelas balco, loge, stalles, dan kelas I. Ada juga bisokop yang membagi stratanya menjadi kelas I, II dan III. Pembagian kelas ini ditentukan oleh lokasi tempat duduk. Maki jauh tempat duduk dari layar harga karcis makin mahal.
Karena adanya pembagian kelas, maka di bioskop-bioskop rakyat ada yang disebut kelas kambing. Sebenarnya kelas ini adalah kelas III yang tempat duduknya paling depan layar. Di kelas ini, penonton yang umumnya dari golongan bawah, biasanya berulah paling ramai. Mereka akan bersiut-siutan, sorak-sorai, tepuk tangan, dan kadang-kadang juga menggebrak bangku saat jagoan Tom Mix atau Gene Autry bintang cowboy idola ketika itu, berlaga melawan para bandit. Seiring itu sering terdengar orang berjualan makanan di dalam bioskop. "Kacang-garing, pala manis, telor asin," teriak para pedagang.
Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Drop the text here and
Do not copy without permission by Arza-mee'