Siang hari bolong terik matahari teramat menyengat, entah sejak kapan Jakarta jadi sebegini panasnya. Sepertinya ozon di atas bumi Jakarta ini sudah 'polkadot' semua-dan sinarnya yang nyengat berhamburan ke seluruh tempat dimana aku berpijak. Pemandangan sekitar begitu terang benderang dan aku pun mulai melangkahkan kaki ke tepi jalan dimana banyak angkot yang bersliweran. Agak lega, barang-barang kebutuhan ku sudah terbeli. Meski tidak banyak karena keuangan menipis ( bulannya nanggung). Ku pandangi satu persatu mobil angkot saling silang berebut penumpang. Kalau sudah begini, aku agak malas untuk naik. Pernah aku paksa untuk menaiki angkot yang sedang kebut-kebutan, sepanjang jalan bibir tidak berhenti komat kamit alias dzikiran. Ada bagusnya juga sich, cuma jantung serasa 'mendelep' nahanin karena takut nabrak. Di pikir abangnya, nyawa orang ada satu ribu kali!fiuh..
Lama menunggu, akhirnya ku stop angkot yang sudah berjejal penumpang. Asyik dapat tempat duduk di dekat pintu. kataku dalam hati. Resiko naik angkot penumpangnya semua 'ogah' duduk di pojok. Alasannya sich kalo turun harus jalan nunduk-nunduk sambil bilang 'maaf..permisiii'...
Angkot melesat bergegas berusaha agar tidak didahului angkot sejurusan. Belum jauh dari tempatku naik, seorang bapak setengah baya juga hendak menaiki angkot yang sedang aku tumpangi. Hap! Dia langsung lompat ke kursi persis di sampingku di depan pintu. Spontan semua mata tertuju pada bapak itu. Dia hanya memiliki satu tangan saja. Ke dua kakinya pun tidak ada, nyaris hanya badan yang melambung jika ia menggerakkan satu tangannya untuk naik ke dalam angkot. Aku pun langsung terpikir bahwa ia adalah seorang pengemis, meski kaos yang dikenakan tidak terlihat lusuh walaupun cuma kaos oblong. Wajahnya pun terkesan terawat dengan janggut layaknya ikhwan Dan ku rasa semua penumpang di angkot itu juga menganggap sama.
Karena kasihan melihat kondisinya, dengan sigap aku dan penumpang lain mengeluarkan uang seribuan untuknya karena iba. Tapi dengan tegas dan pasti dia menolak pemberian kami, "maaf..tidk usah!" tidak terpikir dia akan menolak dengan sopannya. Ternyata dia memang bukan pengemis. Dengan rasa malu, ku kembalikan uang seribu tadi ke peraduannya, di dompet gratisan gelang emas.
Dalam keadaan wajah yang bergaris-garis (imaginasi ku teringat komik jepang), bapak itu pun mengetuk atap angkot. Dia pun turun dengan sigap seperti tidak ada beban dalam dirinya. aku dan penumpang lain masih terpaku memandangnya. Ternyata dia berhenti di sebuah toko material besar pinggir jalan. Tidak mengada-ada, tapi kesan yang kami tangkap dari gelagatnya berbicara dengan para karyawan itu seperti bawahan dan atasan, terlebih dia memasuki toko tersebut tanpa basa basi. Heheh, ternyata aku lebih perlu dikasihani dari dia..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Drop the text here and
Do not copy without permission by Arza-mee'