Sepenggal syair ini diambil dari sebuah lagu yang pernah populer 1970-an dan 1980-an. Lagu itu menggambarkan bagaimana sulit dan kerasnya hidup di Jakarta bagi para pendatang. Sampai ada pameo 'Ibu Kota lebih kejam dari ibu tiri'. Warga Jakarta yang asli maupun pendatang, sebenarnya telah lama menghadapi kerasnya hidup. Sejak zaman penjajahan, tantangan berat itu telah mereka hadapi.
Orang betawi biasa merefleksikan kepedihan hidupnya lewat humor. Tidak heran bila humor kemudian menjadi bagian dari kehidupan masyarakat betawi. "sukar membayangkan orang betawi hidup seperti filosof Yunani Socrates, berwajah angker dengan dahi mengkerut dalam posisi menopang dagunya, " kata Ridwan Saidi, budayawan Betawi. Hal ini dibenarkan rekan seniman Betawi lainnya, SM Ardan. Orang Betawi sulit memisahkan humor dari kehisupannya. Refleksi dari rasa humor itu terlihat dalam lakon-lakon lenong dan topeng Betawi.
Masih banyak lagi seni dan budaya Betawi yang sarat dengan humor. Salah satunya adalah sahibul hikayat alias pendongeng. Budaya Betawi tempoe doloe ini lahir dari pengaruh Persi dan Timur Tengah. Tidak heran, kalau H Sofyan Ja'it (62 tahun), si empunya cerita, dalam acara ini membawakan kisah mirip 1001 malam.
Dalam hidup sulit seperti sekarang ini, mendengarkan sahibul hikayat bisa mengendorkan urat syaraf yang tegang. Budaya yang hampir punah ini, dihidupkan kembali oleh Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Sebuah radiuo swasta di Jakarta juga ikut mengangkat kisah sahibul hikayat yang dibawakan Sofyan Ja'it.
Pria kelahiran Kebon Pala, Tanah Abang Jakarta Pusat ini mewarisi bakat ayahnya, H Muhamad Ja'it. Ayahnya meninggal 1970, setelah sejak 1946 menjadi tukang cerita kesohor seantero Betawi. Waktu itu, boleh dikata taiap ada acara hajatan di Jakarta menghadirkannya. Dalam membawakan sahibul hikayat, ia duduk bersila di tikar mulai pukul 21.00 hingga 03.30 WIB.
Di bawah ini, cuplikan kisah yang sering dibawakan H Soyan Ja'it. Semoga kita terhibur membacanya.
***
Seorang raja di negeri Sarkistan memiliki putri bernama Harsani. Kecantikannya kesohor ke seantero negeri. Harsani memiliki hidung mancung serundang. Leher jenjang semarang. Rambut mayang terurai. Pipih bak pauh dilayang. Tidak heran banyak anak raja tergila-gila. Sayangnya, entah karena apa lamaran ini selalu ditolak raja dan permaisurinya.
Suatu ketika puteri semata wayang raja Sarkistan itu menderita sakit. Makin hari tambah parah. Berbagai tabib didatangkan. Tapi tidak berhasil menyembuhkan sang puteri. Maka raja pun membuat sayembara. Barangsiapa dapat menyembuhkan putri Harsani, bakal jadi menantu raja dan menjadi pewaris Kerajaan Sarkistan. Beberapa anak raja yang dulu ditolak lamarannya, kini melihat peluang baru dan mendaftarkan diri. Sayangnya, mereka gagal menyembuhkan sang putri. Akhirnya ada seorang tukang kacang mencoba peruntungannya.Dasar nasib baik, ia berhasil menyembuhkan sang putri.
Karuan saja, rakyat Sarkistan geger karena raja punya menantu tukang kacang. "Rasain lu. sombong sih milih-milih mantu. Anak raja aje ditolak, sekarang dapet tukang kacang." celolohan mereka. Dimana-mana tidak lain ngomongin mantu raja si tukang kacang. Gosip yang meluas ini akhirnya dilaporkan wazir kepada raja. Raja yang menjadi marah langsung membuat pengumuman ke seluruh negeri. "Mulai saat ini tidak boleh ada yang menyebut kata kacang. Yang berani nyebut kata kacang akan digantung di laun-alun," kata sang raja. Untuk mengamankan SK nya, raja menyebar para hulu balangnya ke pelosok kerajaan, guna memata-matai dan mendengar siapa yang berani nyebut kacang untuk dipenggal kepalanya tanpa diadili. Takut hukuman keliwat berat, tidak satupun rakyat yang berani nyebut kata kacang.
Suatu saat, di perapatan jalan ada seorang pemuda iseng, sengaja menunggu tukang kacang lewat. Tidak seperti pedagang lainnya, pedagang kacang ini berjalan lesu dan tidak meneriakkan isi dagangannya. "Hei bang, dagang apaan tuh, "tanya si pemuda. "gue tau lu mau jebak gue. Lu liat sendiri aja gue dagang ape. Coba kalo berani lu nyebut, kepala lu bisa hilang" jawab tukang kacang ketus. Sementara para hulubalang yang ngumpet di atas pohon dan semak-semak mengikuti percakapan ini sudah siap. "Begitu lu nyebut kacang, gue bakalan tegreb (tubruk) dan leher lu langsung hilang," pikir hulubalang dalam hati.
Akhirnya raja sendiri yang menyebut kacang, saat memarahi menantunya, ia mengomel,"Dasar tukang kacang lu." Sayang sang raja kalis dari hukuman kendati dia sendiri yang melanggarnya. Bukankah, sekarang ini yang banyak melanggar peraturan justru di tingkat pemimpin. Seperti raja Sardistan, mereka juga kebal terhadap hukum.
Republika: Saudagar Baghdad dari Betawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Drop the text here and
Do not copy without permission by Arza-mee'