Jumat, 27 September 2013

Tanah Abang dari Phoa Bing Ham ke Justinus Vinks


Ketika kobaran api tanpa mengenal ampun melalap lebih dari lima ribu kios di Pasar Tanah Abang, Jakarta, awal 2003 para petugas mengalami kesulitan untuk memadamkannya. Bukan saja seluruh hidran di pasar berlantai empat itu tidak berfungsi, puluhan mobil pemadam kebakaran juga tidak dapat mengambil air dari Kali Krukut di belakang pasar. Kali ini sudah dipenuhi lumpur dan berbagai kotoran. Ketika disedot, yang masuk ke pompa-pompa bukannya air, tapi kotoran dan plastik. Ini menunjukkan, bahwa sungai-sungai di Jakarta yang masa VOC dijuluki sebagai kota air, kini tercemar dan berubah fungsi.

Padahal pada tahun 1648, Kapiten Cina, Phoa Bing Ham, telah membuat terusan (kanal) dengan menyodet Kali Hayam wuruk/ Gajah Mada). Dia kemudian menggali terusan sampai ke ujung Kebon Sirih (sekarang jadi got besar sepanjang Tanah Abang Timur/ Jl Abdul Muis), bersambung ke Kali Krukut. Kanal yang digali Phoa Bing Ham berguna sekali untuk memperlancar angkutan hasil hutan dan mempercepat perkembangan kota ke selatan. Terbukti setelah kanal dibangun, rumah-rumah mulai banyak berdiri. 

Berkat karya Phoa Bing Ham inilah, Justinus Vinks anggota Dewan Hindia Belanda kaya raya. Dia membangun Pasar Tanah Abang. Petinggi VOC ini memiliki tanah bejibun di Batavia, sekaligus membangun dua buah pasar. Pasar Tanah Abang diresmikan bersamaan dengan saudara kembarnya Pasar Senen, 30 Agustus 1735. Sebelumnya Pasar Senen dinamakan Pasar Weltevreden, nama sebuah kawasan tempat warga Belanda hijrah dari kota tua (Pasar Ikan).

Untuk memperlancar arus transportasi sungai yang sangat vital kala itu, Vinks membangun terusan (kanal) ke arah timur dengan memotong Kali krukut, yang kini juga sudah berubah fungsi menjadi got besar di sepanjang Jl Kebon Sirih Raya. Sisanya, di Prapatan dan Kwitang, kini menjadi taman. Kala itu, di sepanjang kanal dijumpai perahu dan rakit hilir mudik membawa barang dagangan. Perahu-perahu itu harus berhati-hati agar tidak menabrak masyarakat yang tengah mandi, mencuci, dan bunag hajat di kiri-kanannya.

Sebelum Phoa Bing Ham membangun jaringan trasportasi sungai (1648), 20 tahun sebelumnya (1628), tempat ini dijadikan salah satu basis pasukan Mataram ketika hendak menyerbu ke Batavia (Pasar Ikan). Konon, nama Tanah Abang berasal dari sebutan laskar Mataram. Karena tanah tempat mereka menghimpun kekuatan itu warnanya merah, merekapun menyebut 'tanah abang'. Abang dalam bahasa Jawa berarti merah. Maka sejak itu, kawasan ini disebut Tanah Abang.

Ketika laskar Mataram menjadikannya sebagai salah satu basisnya, kala itu Tanah Abang masih merupakan daerah perbukitan. Makanya kini kita kenal daerah Tanah Abang Bukit.

Pada awalnya, pasar yang dibangun oleh Justinus Vinks bentuknya sangat sederhana, hanya beratap rumbia dan berdinding gedek (anyaman bambu). Sampai awal 1970-an kesederhanaannya masih tampak. Dahulu, di depan pasar ini terdapat toko-toko milik Tionghoa dengna arsitektur Cina. Sementara para pedagang Betawi banyak berjualan sate kambing, sop, gulai dan nasi uduk. Di tempat parkir sekarang ini, dulunya terdapat tukang kue putuyang kesohor di seluruh Jakarta. Karena di Tanah Abang banyak terdapat pemakaman, para peziarah sering membeli bunga yang banyak terdapat di depan pasar sekarang ini.

Melihat perkembangannya yang demikian pesat, Pemprov DKI Jakarta beberapa tahun lalu pernah merencanakan untuk menjadikan daerah sekitar pasar Tanah Abang yang luasnya 40 hektare menjadi kawasan perdagangan dan perniagaan. Sekalipun rencana itu belum kesampean, kenyataannya saat ini perdagangan di Tanah Abang lebih besar dari rencana itu. Jangkauan dan aktivitas perdagangan sudah mencapai dua hingga tiga km dari pusat pasar.

Rata-rata didatangi pembeli 10 ribu tiap hari, dengan omzet Rp 10 miliar sehari, beberapa kawasan di dekat pasar Tanah Abang sudah berubah fungsi menjadi hutan beton dan kaca. Kampung etnis Betawi di Tanah Abang Bukit kini sudah menjadi pertokoan, bank, mal, dan entah apa lagi namanya. Sebagai dampak perkembangan, pasar Tanah Abang tiap hari kini juga didatangi pembeli mancanegara.

Pasarpu telah meluas ke kawasan Kampung Bali dan Kebon Kacang. Banyak rumah di kedua kelurahan ini menjadi gudang, kantor ekspedisi, dan berbagai kegiatan bisnis. Bahkan, masjid Al-Makmur --sekitar 300 meter dari pasar --seolah-olah terpencil karena di kelilingi tempat jual-beli. Tidak heran kalau harga kios di pasar Tanah Abang temahal di tanah air. Menurut keterangan, sewa per m persegi nya mencapai Rp 100 juta.

Kawasan Jatipetamburan yang terletak di bagian barat Tanah Abang kini ada yang menjulukinya sebagai 'kampung negro'.  Karena banyaknya bersliweran oarang-orang dari Afrika. Ada di antara mereka yang kawin dengan penduduk setempat da mempunyai anak. Sekalipun warga kulit hitam ada yang terlibat dalam transaksi narkoba, tapi keberadaannya cukup positif. Karena mereka ikut mengatrol peningkatan ekspor tekstil kita ke mancanegara, terutama Eropa dan Afrika.

Beberapa gedung di sini sudah disulap pula menjadi hitel yang penghuninya adalah orang-orang Afrika. Mereka juga membuka ratusan kios di sepanjang jalan Jtipetamburan, setidaknya 50 kamar di bagian bawah berubah jadi show room yang selalu dipadati pengunjung berbagai tempat. Warga Afrika ini juga mendirikan dua restoran yang menyediakan juga menu sesuai dengan seleranya.

Kalau saja Justinus Vinks bisa dikembalikan dari liang kuburnya, pasti ia mnjadi takjub melihat pasar sederhana yang dibangunnya hampir tiga abad lalu kini berkembang demikian pesat. Mungkin ia turut berduka cita, akibat musibah kebakaran, dan akibat kelalaian para pengelolanya.



Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Drop the text here and
Do not copy without permission by Arza-mee'

Protected by Copyscape Online Plagiarism Tool
Protected by Copyscape Online Plagiarism Toolion-contents>